SEJARAH DAN LEGENDA POMPARAN SI RAJA BATAK..
Batak
(jaman dahulu kala) mempercayai adanya penciptaan langit, bumi dan
segala isinya. Pencipta tersebut adalah Debata Mulajadi Nabolon.
Penciptaannya tak beda jauh dengan penciptaan seperti yang sering kit
abaca dalam Alkitab ( Kejadian )...
Tetapi khusus
untuk penciptaan manusia, sangatlah jauh berbeda. Menurut legenda
Batak, manusia bermula setelah perkawinan antara si Boru Deak Parujar
(salah satu dari 6 anak perempuan Bataraguru ) dengan Raja Odapodap,
mereka dijodohkan oleh Debata Mulajadi Nabolon sewaktu mereka masih
berdiam di Banua Ginjang/Surga (langit papituhon ). Karena itulah dahulu
ada “umpama Batak “ : Timus gabe ombun, ombun jumadi udan, mula ni tano dohot jolma ima sian si Boru Deak Parujar.
Dalam kepercayaan Batak, langit terdiri dari 7 lapis yaitu :
1. Langit
Pertama, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya selalu
melakukan hal-hal yang terbalik dari aturan ( suhar pambaenan )
2. Langit Kedua, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya selalu mencuri, merampok.
3.
Langit Ketiga, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya
selalu panjang lidah, suka membicarakan orang lain ( siganjang dila ).
4.
Langit Keempat, adalah tempat hukuman roh orang yang semasa hidupnya
memfitnah, lintah darat. Di sini juga tempat hukuman roh orang yang
bunuh diri.
5. Langit Kelima, adalah tempat roh orang yang semasa hidupnya suka menolong orang yang tidak punya ( dermawan ).
6. Langit Keenam, adalah tempat pertimbangn/ putusan Bataraguru terhadap manusia yang akan lahir.
Menurut leluhur Batak, manusia yang mau lahir ke dunia akan meminta dan
bertanya lebih dahulu kepada Bataraguru bagaimana hidupnya nanti
setelah lahir.
( Dolok Martimbang hatubuan ni horahora, Debata na di ginjang suhat-suhat ni hita jolma ).
7. Langit Ketujuh, adalah tempat roh orang yang semasa hidupnya baik, suci/percaya, tempat Mulajadi Nabolon, dan inilah surga.
Setelah perkawinan si Boru Deak Parujar dengan Raja Odap-Odap, lahirlah anaknya kembar dampit ( marporhas ). Laki-laki dinamai RAJA IHAT MANISIA dan yang perempuan dinamai BORU ITAM MANISIA. Mereka bertempat tinggal di SIANJUR MULA-MULA.
Pada saat
penghuni langit ( Banua Ginjang ) datang mengunjungi mereka, Si Boru
Deak Parujar dan Raja Odapodap ikut naik ke langit (Banua Ginjang ),
tetapi Debata Asiasi dan si Boru Naraja Inggotpaung tinggal bersama Raja
Ihat Manisia dan si Boru Itam Manisia di Sianjur Mula-Mula.
Setelah besar, Raja Ihat Manisia kawin, tetapi tidak jelas siapa dan darimana istrinya, apakah kembarannya atau
anaknya si Boru Naraja Inggotpaung, yang jelas mereka mempunyai anak 3
orang yaitu : Raja Miok-miok, Patundal Nabegu dan Aji Lampas- Lampas.
Karena
perebutan harta dan selisih paham, ketiga bersaudara itu bertengkar,
akhirnya si Patundal Nabegu dan Aji Lampas-Lampas meninggalkan Sianjur
Mula-Mula, tidak diketahui kemana perginya.
Inilah permulaan Sejarah Batak yang merupakan keturunan dari Raja Ihat Manisia.
Kalau Raja
Ihat Manisia sebagai manusia pertama dalam sejarah dan legenda Batak,
lantas bahagimana hubungannya dengan si RAJA BATAK?
Menurut Legenda (mungkin juga Sejarah ) antara RAJA IHAT MANISIA dengan si RAJA BATAK
terdapat 5 generasi. Jelasnya anak Raja Ihat Manisia seperti
diterangkan pada bagian Pertama ada 3 orang, yaitu Raja Miokmiok,
Patundal Nabegu dan Ajilampaslampas (sebagian mengatakan Aji
Lapaslapas). Setelah perpisahan ketiga bersudara itu kawin (tidak
diketahui dengan siapa ) dan mempunyai anak ENGBANUA. Anak Engbanua ada 3 orang yaitu : Raja Ujung, Eng Domia (Raja Bonang-bonang) dan Raja Jau.
Konon, Raja
Ujung adalah leluhur orang Aceh, Raja Jau adalah leluhur orang Nias,
sedangkan Eng Domia adalah leluhur orang Batak, artinya menurut legenda
ini maka orang ACEH adalah saudara tua (abang ) orang BATAK dan orang
NIAS adalah adik orang Batak, tetapi ada juga pendapat bahwa leluhur
orang Nias adalah RAJA ISUMBAON (anaknya si Raja Batak ).
Raja Bonangbonang mempunyai seorang anak yang dinamai RAJA TANTAN DEBATA. Dari perkawinan Raja Tantan Debata lahirlah si RAJA BATAK.
Si Raja Batak kawin dengan putri dari SIAM,
sebagian mengatakan kawin dengan manusia jadi-jadian, tetapi kalau kita
berpijak pada sejarah ada benarnya bahwa istri si Raja Batak berasal
dari Siam (Benua Asia Kecil ). Anak si Raja Batak ada 2 orang, yaitu GURU TATEA BULAN dan RAJA ISUMBAON. Guru Tatea Bulan sering juga disebut dengan ILONTUNGAN alias si MANGARATA, alias TOGA DATU.
Semasa remaja, Guru Tatea Bulan mendapat warisan benda-benda pusaka pemberian “tulangnya” dari Siam yaitu berupa : tombak siringis, batu martaha dan cincin yang cocok pada semua jari tangannya.
Guru Tatea Bulan kawin dengan SIBASO BURNING,
yang menurut versi keturunan Borbor Marsada adalah anak gadis manusia
primitive yang sudah ada di daerah Sumatera, tetapi sebagian versi
mengatakan bahwa Sibaso Burning adalah putri jadi-jadian (boru ni homang
), karena kemampuan kesaktiannya, Guru Tatea Bulan dapat mengajari
istrinya menjadi orang beradab. Dari perkawinannya mereka mempunyai 5
orang anak laki-laki dan 5 orang anak perempuan. Mereka adalah : Raja Biakbiak (Raja Miokmiok), Tuan Saribu Raja (Ompu Tuan Rajadoli), Limbong Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja, sedangkan putrinya adalah : Si Boru Biding Laut (diyakini Nyi Roro Kidul), Siboruparema, Siboru Anting Haomasan dan Siboru Sinta/Sanggul Haomasan, sedangkan seorang lagi yaitu NANTINJO konon adalah Waria (Banci ) pertama dalam Legenda dan Sejarah Batak.
Menurut cerita, Tuan Saribu Raja dan Siboru Pareme lahir kembar dampit (marporhas).
Raja Isumbaon
adalah manusia misterius, tidak ada yang tau cerita dan keberadaannya,
tetapi kemudian disebutkan dari perkawinannya lahir 3 orang anaknya
yaitu : Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-Asi dan Sangkar Somalidang.
Dari cerita di atas jelas terlihat bahwa marga pertama dalam Silsilah/Tarombo orang Batak adalah marga LIMBONG dan marga SAGALA.
Pertanyaan
akan selalu muncul mengikuti logika, Raja Batak mempunyai 2 orang anak,
tidak disebutkan mempunyai anak perempuan, pertanyaan yang paling lumrah
adalah : Anak Perempuan siapa yang menjadi isteri mereka, kalau memang
manusia juga, berarti pada masa itu sudah ada manusia lain selain
keluarga si Raja Batak.
Seperti di
sebutkan pada Episode II, isteri Guru Tatea Bulan ada yang mengatakan
dari kelompok orang primitive yang sudah ada di sekitar Danau Toba, dan
pendapat lain mengatakan keturunan makhluk jadi-jadian (boru ni homang ).
Pertanyaan
seperti itu juga muncul pada masa kekinian setelah orang Batak mengenal
agama monotheis ( Kristen dan Islam ), pada zaman penciptaan manusia
Adam dan Hawa yang mempunyai anak Kain, Habel dan Set. (baca Kejadian: 4 dan 5
), lantas siapa dan anak siapa istri Kain dan Set? Ok, hal itu tidak
perlu diperdebatkan karena sudah menyangkut masalah keimanan seseorang.
Guru Tatea
Bulan dan Raja Isumbaon setelah berkeluarga, meminta hak kepada
ayahandanya si Raja Batak, tetapi pada masa itu belum banyak harta benda
yang bisa diserahkan si Raja Batak kepada kedua anaknya, dan memang
juga bukan harta benda yang mereka minta, tetapi “sangap” dan “kesaktian”.
“Berikanlah kepada kami yang belum pernah kami lihat dan yang belum
pernah kami ketahui”, kira-kira demikianlah permintaan Guru Tatea Bulan
dan Raja Isumbaon. Si Raja Batak walaupun punya kesaktian, tetapi dia
tidak bisa memberikan apa yang diminta anaknya, karena itu dia meminta
kepada kedua anaknya agar bersabar dan sama-sama memohon (martonggo) kepada Mulajadi Nabolon Debata Natolu agar diberikan “ sahala tua sahala harajaon .“
Debata Natolu
Mulajadi Nabolon mengabulkan permintaan doa mereka, maka dikirimkanlah 2
(dua) buah gulungan surat Batak. Pada gulungan pertama tulisan arang (tombaga agong ) yang menjadi bagian Guru Tatea Bulan
berisi tentang ilmu: Perdukunan/Pengobatan, Kesaktian, Seni pahat ,
Kekuatan, juga ilmu beladiri (parmonsahon ) dan ilmu menghilang (
pangaliluon ).
Pada gulungan kedua surat tombaga holing berisi tentang ilmu : Pemerintahan, hukum, bercocok tanam dan dagang.
(Tentang
Surat Batak ini sedikit ada kontraversi, apakah memang sudah ada pada
saat si Raja Batak atau beberapa generasi berikutnya, dan apakah
diturunkan oleh Debata Natolu Mulajadi Nabolon kepada si Raja Batak atau
diciptakan oleh manuasia. Hal ini masih menjadi simpang siur.
Salah seorang keturunan Guru Tatea Bulan adalah Raja Biak-Biak (Raja Miokmiok),
kelahirannya disertai guruh, hujan lebat dan angin puting beliung,
namun setelah lahir alangkah kaget dan kecewanya si Guru Tatea Bulan dan
istrinya si boru Baso Burning, karena yang lahir tidak sempurna sebagai
manusia, tidak punya kaki dan tangan. Dia tidak bisa duduk, hanya bisa
berguling-guling, karena itu Raja Biak-biak dinamai juga Raja
Gumeleng-geleng (guling-guling).
Pada suatu waktu, Mulajadi Nabolon Debata Natolu turun ke bumi (Sianjur Mula-Mula)
dan mencobai iman (haporsean) Guru Tateabulan. Mulajadi Nabolon meminta
agar Guru Tatea Bulan menyerahkan anaknya Saribu Raja untuk dipotong
dan dipersembahkan.
Guru Tatea
Bulan mengatakan, “ Datangnya dari Tuhan (Mulajadi Nabolon Debata Natolu
), kalau Mulajadi Nabolon meminta, saya tidak berhak menolak”.
Mendengar itu Raja Biak-biak berpikir bahwa dialah yang akan
dipotong/dibunuh, dibandingkan Saribu Raja yang sempurna, dia tidak ada
harganya, maka dengan tergesa-gesa dia meminta kepada ibunya agar
menyuruh ayahandanya menyembunyikan dia. Guru Tatea Bulan pun
menyembunyikan dia di Gunung/Dolok Pusuk Buhit.
Saribu Raja
jadi dipotong dan dipersembahkan, tetapi karena Guru Tatea Bulan ikhlas
dan Saribu Raja tidak menolak menjadi korban persembahan, Mulajadi
Nabolon menghidupkan dia kembali serta memberikan berkat (pasu-pasu).
Mulajadi
Nabolon datang dan pergi selalu dari puncak Dolok Pusuk Buhit, maka
ketika dia mau kembali ke banua ginjang melalui Dolok Pusuk Buhit, dia
melihat Raja Biak-biak ada di situ. Raja Biak-biak memohon kepada
Mulajadi Nabolon agar disempurnakan, Mulajadi Nabolon pun mengabulkan
permohonan Raja Biak-biak, diberi tangan, kaki, bahkan diberi sayap,
ekor dan mulutnya seperti (maaf) moncong babi. Pada saat itu Mulajadi
Nabolon berkata : “ Walau bentuk tubuhmu tidak sempurna seperti manusia
biasa, tetapi kamu punya keistimewaan, tidak akan pernah tua, tidak akan
mati dan kamu akan menjadi perantara manusia yang akan memberikan
persembahan kepadaku, kuberi kamu gelar RAJA HATORUSAN atau juga RAJA UTI.”
Dengan
kemampuannya Raja Biak-biak/Raja Miok-miok/Raja Gumeleng-geleng/ Raja
Hatorusan/ Raja Uti dapat pergi kemanapun sesuka hatinya, namun pada
awalnya dia pulang ke Sianjur Mula-Mula, kemudian ke Aceh dan ke bagian
selatan Tapanuli ( Barus ).
Telah
disebutkan di atas bahwa Tuan Saribu Raja lahir kembar dampit dengan
Siboru Pareme, di kemudian hari rasa cinta tumbuh diantara keduanya dan
mereka pun melakukan perkawinan incest (sedarah terlarang),
inilah mungkin salah satu peringatan bagi masyarakat Batak sekarang
apabila mempunyai anak yang lahir kembar dampit selalu dipisahkan
pengasuhannya agar tidak terjadi sebagaimana antara Tuan Saribu Raja
dengan Siboru Pareme.
Dari perkawinan antara Tuan Saribu Raja dengan Siboru Pareme, lahirlah serang anak laki-laki yang kemudian diberi nama SI RAJA LONTUNG.
Si Raja Lontung lahir di tengah hutan rimba yang belum pernah didatangi
manusia, karena Si Boru Pareme dibuang oleh saudaranya karena malu
dengan perbutannya. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa Si Raja
Lontung adalah keturunan si Boru Pareme dengan Babiat Sitelpang
yang selalu datang membawa makanan kepada Si Boru Pareme, karena Si
Boru Pareme menolong mengambilkan tulang yang tersangkut di mulut
harimau itu. Kalau pendapat ini benar, timbul pertanyaan : Mengapa dan
apa penyebab Si Boru Pareme berada di tengah-tengah hutan belantara?
Karena tidak mempunyai alasan yang kuat, maka pendapat lebih cenderung
mengatakan bahwa Si Boru Pareme memang dibuang oleh saudaranya ke hutan
belantara ( tombak longo-longo, harangan rimbun rea parhais-haisan ni
babiat paranggun-anggunan ni homang) karena telah diketahui
saudara-saudaranya telah melakukan perbuatan terlarang, dan di hutan
bertemu dengan Babiat Sitelpang seekor Harimau dimana ketika itu si Boru
Pareme menolong Harimau mengambilkang tulang yang tersangkut di mulut
harimau itu dan mulai saat itu Babiat Sitelpang turut dalam menjaga si
Boru Pareme hingga lahirnya Raja Lontung sampai besar. Sedangkan si
Saribu Raja menurut cerita pergi setelah adik bungsunya Lau Raja
memberitahukan kepada abangnya Saribu Raja kalau abangnya Limbong Mulana
dan Sagala Raja berniat membunuhnya karena telah melakukan hal yang
dianggap tidak pantas.
Tuan Saribu
Raja adalah orang yang tidak betah berdiam diri di suatu tempat, dia
selalu berkelana dari satu daerah ke daerah lain, dan di daerah baru itu
beberapa kali dia kawin lagi. Adalah Nai Mangiring Laut,
salah satu istrinya, dikatakan adalah manusia peliharaan lelembu
(homang), dari perkawinannya dengan Nai Mangiring Laut lahirlah SI RAJA BORBOR.
Setelah anaknya lahir Tuan Saribu Raja membawa mereka ke suatu tempat
di luar Sianjur Mula-Mula, tempat itu sekarang dikenal dengan PARIK SABUNGAN.
Sampai saat ini masih ada kontroversi diantara keturunan Tuan Saribu Raja, siapa yang lebih dahulu lahir antara SI RAJA LONTUNG dan SI RAJA BORBOR.
Kalau dalam sejarah dan Tarombo Borbor Marsada, yang lebih duluan lahir
adalah si Raja Borbor yang otomatis menjadi siabangan (sihahaan), konon
menurut cerita sewaktu Nai Mangiring Laut mengandung, si Boru Pareme
datang menggoda saudaranya Tuan Saribu Raja dan terjadilah hubungan
terlarang.
Di lain
tempat (di daerah Barus sekarang), Tuan Saribu Raja juga mempunyai
isteri yang tidak jelas diketahui asal-usulnya, sebagian mengatakan
putri Tamil, sebagian lagi mengatakan keturunan harimau, dari
perkawinannya lahir anaknya laki-laki yang dinamai RAJA GALEMAN atau digelari juga dengan SIBABIAT.
Dari cerita di atas jelaslah bahwa keturunan Tuan Saribu Raja ada 3 orang yaitu : LONTUNG, BORBOR dan SIBABIAT. Dari ketiga orang tersebut, dikemudian hari berkembang marga-marga yang sekarang kita kenal dengan kumpulan marga : NAIMARATA, BORBOR MARSADA dan LONTUNG MARSADA.
Telah diterangkan di atas, Guru Tatea Bulan mempunyai 4 orang anak perempuan, selain Si Boru Pareme yang dua lagi adalah SIBORU ANTING HAOMASAN dan SIBORU SINTA/SANGGUL HAOMASAN. Kedua wanita ini kawin dengan TUAN SORIMANGARAJA
anak dari Raja Isumbaon. Isteri Tuan Sorimangaraja sendiri ada 3 orang,
yaitu Si Boru Paromas/Si Boru Anting Malela, Si Boru Anting Haomasan,
dan Si Boru Sinta/Sanggul Haomasan. Sedangkan Si Boru Biding Laut
diperkirakan adalah Nyi Roro Kidul Ratu Pantai Selatan. (Baca : Asal
Usul Nyi Roro Kidu)
Pada masa itu, keturunan si RAJA BATAK terbagi atas 2 kelompok, keturunan Guru Tatea Bulan disebut dengan ILONTUNGON sedangkan keturunan dari Raja Isumbaon disebut SUMBA.
Dikemudian hari, dari 2 kelompok tadi berkembang menjadi 5 kelompok yang menjadi INDUK MARGA-MARGA BATAK
yang ada sekarang, dengan catatan bahwa keturunan dari Raja Asi-asi,
Sangkar Somalidang, Toga Laut dan keturunan Saribu Raja dari isteri
ketiga yaitu Raja Galeman (Sibabiat) belum termasuk, karena keturunan
mereka tidak jelas keberadaannya dan patut diduga ada di daerah Asahan,
Langkat, Karo, Deli Serdang, Binjai dan di Aceh ( Tapak Tuan, Takengon
dan Kutacane).
Salah seorang boru dari Guru Tatea Bulan ialah NANTINJO yang dikatakan sebagai BANCI/WARIA
pertama dalam sejarah dan legenda orang Batak. Orang mengatakan bahwa
dia sebenarnya berjenis kelamin laki-laki tetapi pembawaan dan tingkah
laku layaknya perempuan sebagaimana waria yang kita kenal sekarang. Guru
Tatea Bulan dan saudara-saudaranya memaksa dia supaya berumah tangga,
pada mulanya Nantinjo masih bisa memberi alasan, tetapi kemudian di
belakang hari dia tidak bisa lagi mengelak anjuran dan paksaan abangnya.
Dia masih berusaha untuk menolak dengan meminta “sinamot”
sebanyak satu perahu penuh emas, dengan harapan tidak ada yang sanggup
memberikannya, ternyata dia keliru. Ada saja orang yang datang melamar
dia dengan “sinamot” sebanyak yang dia minta, Nantinjo tidak bisa
mengelak, diapun dibawa oleh “suaminya” menyeberangi danau ke tempat mertuanya. Di perjalanan, Nantinjo berpikir bahwa sesampai di tempat mertuanya “dunia”
akan geger apabila masyarakat mengetahui cacatnya. Maka dengan putus
asa, dia berdoa (martonggo) ke Boru Saniangnaga dan Mulajadi Nabolon
Debata Natolu : “ O ale ompung Mulajadi Nabolon, Debata Natolu na
di Banua Ginjang dohot ho Boru Saniangnaga pangisi ni Banua Toru,
ompuompu ni hunik nama au tinuhor sian onan, dang bulung
ni dulang dang bulung ni rias, ompu ni hinalungun soada tudosan,
napaila damang molo tarboto tihas, tagonanma langge padopado sikkoru,
tumagonan ma mate daripada mangolu, buatton ma au begu luahon au sombaon
ai sudena on soboi be hutaon. “ Setelah berkata demikian, Nantinjo melompat ke tengah danau dan tenggelam.
Pada saat
berangkat dari Sianjur Mula-Mula, dia dibekali dengan alat tenunnya yang
selalu dia pakai semasa “gadisnya” bersama “buluhot” (pangunggasan yang
terbuat dari bambu), setelah Nantinjo tenggelam, semua peralatan itu
mengapung sehingga orang yang menemukan mayat Nantinjo juga menemukan
semua peralatan tenun tersebut dan membawanya ke darat. Nantinjo
dimakamkan di Malau bersama semua peralatannya, dikemudian hari dari
makamnya “buluhot” tersebut tumbuh bambu besar (bulu godang) yang ada
sampai saat ini di Tiga Malau dekat Simanindo, dan tempat tersebut
sampai sekarang dianggap sebagai tempat keramat. (Baca : SEJARAH BORU
NAN TINJO).
Telah diterangkan di atas bahwa Raja Isumbaon ada 3 orang yaitu : Tuan Sorimangaraja, Raja Asi-asi dan Sangkar Somalidang.
Tuan
Sorimangaraja mempunyai 3 orang isteri, 2 orang diantaranya adalah putri
Guru Tatea Bulan yaitu Siboru Anting Haomasan dan Siboru Sinta/Sanggul
Haomasan. (Kalau jaman kekinian tentunya itu terlarang, karena dia
mengambil isteri dari putri Bapatuanya, tetapi pada masa itu karena
memang penduduk disekitar danau Toba masih sangat jarang, hal tersebut
adalah lumrah). Masih menjadi kontraversi karena berbagai versi dimana
versi umum dikatakan istri Tuan Sorimangaraja adalah 3 Si Anting Homasan
yang dikenal si Boru Paromas (NAIAMBATON), si Boru Biding Laut
(NAIRASAON), dan si Boru Sanggul Haomasan (NAISUANON), dimana tidak
diketahui asal usul si Boru Sanggul Haomasan, namun menurut sumber ini
dikatakan boru Guru Tatea Bulan hanya 4 sesungguhnya adalah 5 dimana
siakkangan adalah si Boru Biding Laut, dan Si Boru Sanggul Haomasan
adalah boru ni Guru Tatea Bulan, sedangkan si Boru Paromas/Si Boru
Anting Malela tidaklah sama dengan Si Boru Anting Haomasan boru ni Guru
Tatea Bulan melainkan si Boru Anting Malela/si Boru Paromas ini bukanlah
boru dari Guru Tatea Bulan namun dari pihak lain yang belum diketahui
informasinya (informasi ini bisa kita lihat dari tarombo ni Borbor atau
lagu tarombo ni Borbor).
Dari isteri pertama Tuan Sorimangaraja dia mempunyai anak yang dinamai TUAN SORBA DIJULU (NAI AMBATON) dan dari dari isteri kedua juga seorang, TUAN SORBA DIJAE (NAI RASAON), dari isteri ketiga Tuan Sorimangaraja mempunyai anak dan diberi nama TUAN SORBA DIBANUA (NAI SUANON).
Ketiga
isterinya dengan panggilan nama anaknya lebih terkenal daripada Tuan
Sorimangaraja sendiri, hal ini terjadi karena Tuan Sorimangaraja adalah
orang tidak betah berdiam diri, dia berkelana dari satu daerah ke daerah
lain sambil memberikan pengobatan kepada orang-orang yang memerlukan
kepintarannya.
Isteri ke 3
Tuan Sorimangaraja yaitu Siboru Sanggul Haomasan lebih duluan melahirkan
daripada isteri ke 2 (Si Boru Anting Haomasan), karena itu Si Boru
Anting Haomasan selalu bermuram durja dan selalu “mangandung”. Dalam
“andungnya” sering sekali keluar kata-kata penyesalan, kata-kata putus
asa, karena pada masa itu seorang wanita yang sudah kawin belum dianggap
sebagai perempuan apabila belum melahirkan keturunan untuk menyambung
tali kehidupannya. Kendati sudah lama kawin, Mulajadi Nabolon Debata
Natolu belum memberikan Si Boru Anting Haomasan keturunan untuk
membuktikan dia sebagai perempuan yang sempurna. Tentunya sekarang
pikiran seperti itu sudah bukan zamannya lagi, tidak mempunyai keturunan
tidak semata-mata karena kekurangan isteri, bisa juga si suami, kendati
demikian masih ada juga orang, khususnya orang Batak yang masih
menganut pemikiran manusia zaman dulu, dan itu dijadikan pembenaran
untuk berpoligami.
Demikianlah
Si Boru Anting Haomasan, setiap hari sebelum matahari terbit, dia sudah
pergi ke pinggir danau, siang hari bernaung di bawah pohon besar
“beringin na mardangka tu langit”, di malam hari selalu menyendiri
“songon tandiang na hapuloan”. Tidak pernah terlihat ceria di wajah Si
Boru Anting Haomasan.
Sebagaimana
diceritakan bahwa Siboru Biding Laut lama tidak diberikan keturunannya,
dalam keputus asaannya di menceburkan diri ke danau, tetapi dia tidak
tenggelam. Tubuhnya terombang ambing di danau kian kemari, dipermainkan
ombak seperti nasib yang mempermain-mainkan kehidupannya. Entah berapa
lama dia terobang-ambing sampai akhirnya terdapar di daratan, begitu
sadar dia memandang nanar ke kejauhan, ke arah Dolok Pusuk Buhit.
Ternayata
Tuan Sorimangaraja sedang mencarinya di sekitar Sianjur Mula-Mula,
karena tidak ketemu, diapun menyeberangi danau sambil “martonggo” agar
Mulajadi Nabolon menyelamatkan “persinondukna” Si Boru Anting Haomasan.
Doanya
terkabul, diseberang danau dia menemukan Si Boru Anting Haomasan dalam
kebingungannya, dia membawa isterinya kea rah “habinsaran”. Disuatu
tempat yang dirinya subur, Tuan Sorimangaraja mendirikan (mamukka)
pemukiman bagi mereka.
Tetapi memang
dasarnya Tuan Sorimangaraja yang tidak pernah bisa berdiam diri, diapun
meninggalkan perkampungan mereka, berkelana entah kemana.
Anak Tuan
Sorimangaraja, si Ambaton dan si Suanon tumbuh berkembang tanpa
pengasuhan ayahnya, demikian juga dengan si Rasaon yang kemudian
dilahirkan dari rahim Si Boru Anting Haomasan. Mereka tumbuh jadi pemuda
yang mandiri. Karena Tuan Sorimangaraja sangat jarang bertemu dengan
mereka, demikian juga dengan orang-orang yang ada di sekeliling tempat
mereka tinggal, maka ketika ada yang bertanya siapa pemuda-pemuda yang
gagah tersebut, maka yang lain selalu menjawab : anaknya Nai Ambaton
untuk si AMBATON, anaknya Nai Suanon untuk si SUANON, anaknya Nai Rasaon untuk si RASAON.
Bermula
dari panggilan-panggilan tersebut, akhirnya orang lain lebih mengenal
mereka dan keturunannya kemudian dengan sebutan NAIAMBATON, NAIRASAON
dan NAISUANON. Keturunan mereka menjadi kelompok marga-marga di kemudian
hari. Dengan demikian maka kelompok marga-marga Batak menjadi 5 induk,
yaitu :
1. Kelompok LONTUNG, untuk keturunan si Raja Lontung anak Saribu Raja dengan Siboru Pareme;
2. Kelompok BORBOR,
untuk keturunan Limbong Mulana, Sagala Raja, Silau Raja ( Malau Raja )
dan si Raja Borbor anak Saribu Raja dengan Nai Mangiring Laut, sekarang
ini sering disebut dengan BORBOR MARSADA.
3. Kelompok NAIAMBATON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri pertama SIBORU ANTING MALELA ( SIBORU PAROMAS ), sekarang ini sering disebut dengan PARNA (Parsadaan Raja Naiambaton).
4. Kelompok NAIRASAON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri kedua Si BORU ANTING HAOMASAN, yang adalah adik kandung si Boru Paromas.
5. Kelompok NAISUANON, untuk semua keturunan Tuan Sorimangaraja dari isteri ketiga SIBORU SINTA/SANGGUL HAOMASAN.
Dari
5 kelompok marga-marga tersebutlah penyebaran marga-marga yang kita
kenal sekarang ini, tetapi dengan pertanyaan : Bagaimana dengan
keturunan RAJA ASI-ASI dan SANGKAR SOMALIDANG?
Menurut cerita, kedua anak Raja Isumbaon tersebut pergi ke arah Dairi
dan ke kaki Gunung Sibayak (Karo), dan dari keturunan merekalah
marga-marga yang ada sekarang di daerah itu.
Pada
cerita berikut, tidak semua marga-marga akan diterangkan, dan kebenaran
dari cerita-cerita itu kembali kepada masing-masing marga, karena pada
dasarnya Legenda adalah cerita rekaan (khayalan) yang bisa benar bisa
tidak, tetapi paling tidak cerita tersebut pernah beredar di
tengah-tengah masyarakat.
Salah satu yang sangat penting menjadi pijakan dalam mengikuti cerita Legenda adalah : TIDAK LEBIH DAHULU APRIORI/KONTRA
apabila cerita tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita tau atau
pernah kita dengar. Penolakan terhadap legenda akan membuat kita tidak
akan dapat mendalami dan memahami nilai-nilai yang tersembunyi pada
cerita tersebut.
Perlu juga
disepakati, bahwa penulisan cerita/legenda ini bukan untuk mengurangi
keimanan seseorang dan bukan pula mengajak pembaca untuk kembali ke
“hasipelebegu on “ karena nilai-nilai pada cerita/legenda Batak adalah
filsafat, berbeda dengan nilai-nilai religi.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN SI RAJA LONTUNG.
Konon, si
Raja Lontung sepeninggal ayahandanya berpetualang, hidup berdua dengan
ibunya Siboru Pareme ditengah hutan. Ketika sudah makin dewasa, Siboru
Pareme menuruh anaknya untuk berumah tangga dan pergi ke rumah tulangnya
ke Sianjur Mula-Mula, dia berpesan agar mencari paribannya untuk
dijadikan isteri yang wajah mirip dengan wajah ibunya.
Si Raja
Lontung pun mengerti pesan ibunya, diapun berangkat menuju Sianjur
Mula-Mula sebagaimana dipesankan karena disanalah tempat tinggal
tulangnya. Namun di tengah jalan dia bertemu dengan seorang wanita yang
benar-benar pinang dibelah dua dengan ibunya Siboru Pareme. Dia pun
berpikir bahwa wanita inilah paribannya yang diceritakan ibunya, maka
dengan sangat antusias diapun menyampaikan maksud dan tujuannya (tembak
langsung). Si wanita sama sekali tidak memberikan penolakan, karena
memang dia adalah Siboru Pareme yang tak lain ibu dari si Raja Lontung.
Dia telah merencanakan semua itu, ketika si Raja Lontung pergi seperti
yang dia minta untuk menemui tulangnya di Sianjur Mula-Mula, Siboru
Pareme mengambil jalan pintas mendahului si Raja Lontung ke suatu tempat
yang pasti harus dilalui si Raja Lontung.
Setelah
melakukan hubungan terlarang dengan “ito”nya Tuan Saribu Raja, sekarang
hubungan terlarang (incest) dilakukan dengan anaknya sendiri (Hampir
sama dengan cerita Sangkuriang di daerah Parahyangan).
Raja Lontung
mempunyai 7 anak laki-laki dan 2 anak perempuan dari perkawinannya
dengan Siboru Pareme yang kemuadian menjadi marga sampai sekarang, yaitu
:
1.Toga Sinaga
2.Toga Situmorang
3.Toga Pandiangan
4.Toga Nainggolan
5.Toga Simatupang
6.Toga Aritonang
7.Toga Siregar
Sedangkan ke 2 putrinya Si Boru Anak Pandan kawin dengan Sihombing dan Siboru Panggabean kawin dengan Simamora, keduanya adalah anak Toga Sumba ( cucu dari Tuan Sorbadibanua/si Suanon).
Sampai
sekarang masih ada perbedaan pendapat tentang anak tertua si Raja
Lontung, apakah Toga Sinaga atau Toga Situmorang. Sebagian orang
mengatakan bahwa Toga Sinagalah yang tertua, tetapi Toga Situmorang
lebih duluan kawin dengan boru Limbong, sedangkan Toga Sinaga belum
juga. Karena belum mendapat wanita untuk isterinya, Sinaga berkata
kepada Situmorang supaya dicomblangi (dipadomu-domu) dengan adik
isterinya. Situmorang berkata, bisa saja asal kau memanggil abang kepada
saya, Sinaga pun setuju. Jadilah Sinaga kawin dengan adik isteri (adik
ipar) Situmorang, dan oleh karena itulah antara Sinaga dan Situmorang
saling memanggil abang pada acara-acara tertentu. Sinaga menjadi abang
dari Situmorang karena lebih duluan lahir (anak tertua) dari si Raja
Lontung, lazim juga disebut sebagai “ haha partubu”, sedangkan Situmorang menjadi abang karena isteri Sinaga adalah adik dari isterinya, lazim juga disebut sebagai “ haha ni harajaon” karena menjadi si abangan pada acara adat “hula-hula mereka marga Limbong”.
Seperti sudah
pernah disebutkan sebelumnya, marga pertama dalam masyarakat Batak
adalah Limbong dan Sagala. Kalau dalam penyusunan Tarombo/Silsilah si
Raja Batak ditempatkan pada generasi Pertama (I ), maka marga Limbong
dan Sagala ada pada generasi III dan Malau (anak Silau Raja ) pada
generasi ke IV. Tuan Saribu Raja adalah abang dari Limbong dan Sagala
sama-sama generasi III, maka si Raja Lontung adalah generasi ke IV.
Anak–anak si
Raja Lontung yang sudah menjadi marga sampai saat ini adalah generasi V.
Dengan demikian marga-marga pada kelompok marga Ilontungan dimulai pada
generasi ke V.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN SI RAJA BORBOR.
Si Raja
Borbor sama halnya dengan si Raja Lontung adalah generasi ke IV. Si Raja
Borbor kawin dengan putri Jau. Putri Jau yang dimaksud disini bukanlah
si Jau yang menjadi pewaris marga-marga di Nias, tetapi karena tidak
diketahui darimana asal usulnya. (sekali lagi membuktikan bahwa pada
saat itu sudah ada manusia lain selain keturunan si Raja Batak ).
Banyak versi
yang menjelaskan keturunan si Raja Borbor, tetapi dalam konteks ini
tidak akan dibahas perbedaan-perbedaan tersebut, karena pada dasarnya
perbedaan-perbedaan itu telah menjadikan keturunan si Raja Borbor makin
kuat ikatan persaudaraannya dalam IKATAN BORBOR MARSADA.
Anak dari si Raja Borbor sebagaimana yang diakui dalam Ikatan Borbor Marsada (masuk pada generasi ke V) adalah :
1. Raja Hatorusan
2. Tuan Sidamanik
3. Datu Singar Harahap
4. Parapat
5. Matondang
6. Sipahutar
7. Sitarihoran
8. Gurning
9. Rambe
10. Saruksuk
Kendati
pada generasi ke V sudah menjadi Marga yang ada sekarang, tetapi ada
juga marga pada saat itu menurunkan marga yang lebih muda pada generasi
VI, VII dan seterusnya sampai generasi XIV, contohnya marga HUTASUHUT yang merupakan keturunan dari marga HARAHAP adalah generasi XIV dari si Raja Batak.
Sampai dengan
saat ini, marga-marga yang tergabung dalam Ikatan Borbor Marsada tetap
terjalin persaudaraan yang erat, baik di bonapasogit maupun di
parserahan, mereka menganut istilah “sijolojolo tubu” yaitu : si sada
lulu anak si sada lulu boru.
Ke dalam kelompok Ikatan Borbor Marsada ini termasuk juga keturunan dari LIMBONG MULANA, SAGALA RAJA, SILAU RAJA (MALAU RAJA ).
KELOMPOK MARGA KETURUNAN NAI AMBATON.
Sumber marga-marga yang tergabung dalam Nai Ambaton (Parna)
ada beberapa versi, ada yang mengatakan bahwa anak Nai Ambaton yaitu
Tuan Sorbadijulu mempunyai hanya dua anak yaitu Raja Sitempang dan Raja
Nabolon (hanya versi Sitanggang), ada pula yang mengatakan bahwa anak
Tuan Sorba Dijulu mempunyai 5 orang anak 1 perempuan, dan ada pula yang
mengatakan 4 anak laki-laki dan 1 perempuan.
Versi yang
mengatakan 5 orang menggabungkan Sinahampang sebagai anak langsung dari
Tuan Sorbadijulu, sedangkan versi lain mengatakan, Sinahampang adalah
anak dari Simbolon Tua. Namun hingga saat ini Nahampun masuk dalam
bagian Punguan Simbolon Boru/bere Se-Indonesia dan beberapa diantaranya
menjadi pengurus PSBI wilayah, tetapi penulis disini mengetengahkan
versi yang mengatakan bahwa anak Tuan Sorbadijulu adalah 4 dan 1
perempuan.
Pada kelompok
marga Parna, pemakaian marga yang ada sekarang ini dimulai dari
generasi ke V dari si Raja Batak, yaitu marga Simbolon, Tamba, Saragi
dan Munte. Dan satu borun Tuan Sorba Dijulu adalah PINTA HAOMASAN yang dinikahi oleh RAJA SILAHI SABUNGAN dan memiliki anak bernama SILALAHI RAJA.
Dari ke 4
marga di atas melahirkan marga-marga baru hingga sekarang ini, yang
merupakan marga paling banyak dalam satu kelompok marga dan masih teguh
menganut paham “sisada lulu anak sisada lulu boru”, artinya belum ada
sesama marga dalam kelompok marga Parna yang sudah saling mengawini.
Dari keturunan Simbolon Tua
yang sudah menjadi marga ( Simbolon ) lahir marga-marga baru yaitu :
Tinambunan, Tumanggor, Turuten, Pinayungan, dan Nahampun. Dan marga
turunan dari Tumanggor adalah marga Pasi.
Dari keturunan Tamba Tua
yang sudah menjadi marga (Tamba) lahir marga-marga baru setelah
merantau yaitu: Siallagan, Turnip, Rumahorbo, Napitu, Sitio, Sidauruk.
Khusus Rumahorbo, Napitu, Sitio disebut RONATIO sedangkan padan antara Sidauruk-Turnip-Sitio disebut RAJA SITOLU TALI.
Dari salah seorang keturunan Tamba Tua dari cicitnya Datu Parngongo
adalah Guru Sohalaosan/Guru Sojoloan atau juga sering disebut Guru
Sitindion, dari sini melahirkan marga-marga baru yang sekarang ini lebih
sering disebut Siopat Ama, yaitu marga : Sidabutar,
Sijabat, Siadari dan Sidabalok. Namun dalam keturunan Tamba Tua ada
marga yang kembali menurunkan marga-marga mandiri dari Sijabat,
contohnya Gusar yang memakai marga Sitanggang karena padan dengan
Sitanggang Bau namun ada yang tetap memakai marga asal leluhurnya
Sijabat, keturunan Sijabat di Simalungun ada yang berafiliasi menjadi
marga Saragi Dajawak/Saragi Djawak sedangkan Sijabat di Tanah Karo berafiliasi menjadi marga Ginting Jawak.
Menurut informasi marga Siambaton pun merupakan keturunan dari Tamba
Tua, namun masih dibutuhkan informasi yang lebih karena menurut Munthe
Tua Siambaton adalah keturunan dari mereka yang tinggal di tanah Tamba,
namun bila dilihat dari leluhurnya Parsanti Ulubalang, Siambaton adalah
keturunan dari Munthe Tua.
Dari keturunan Saragi Tua
yang sudah menjadi marga (Saragi) lahir marga-marga baru yaitu :
Simalango, Saing, Simarmata, Nadeak, Sidabungke juga marga-marga yang
ada di Dairi/Pakpak dan Karo seperti : Basirun, Bolahan, Akarbejadi,
Kaban, Jurung dan Telun. Namun untuk marga Sidabungke merupakan
keturunandari Parna Saragi Tua namun saat ini sudah menjadi marga
mandiri karena dalam sejarah dikatakan Sidabungke menikahi itonya, dan
hingga saat ini banyak marga Parna menikahi boru Sidabungke begitu juga
dengan Sidabungke yang menikahi boru Parna.
Dari Saragi
Tua ini juga yang menjadi marga-marga klan Parna yang ada di Simalungun
seperti Saragih Sumbayak, Saragih Dasalak. Kesemuanya itu, tempat
leluhir mereka adalah dari Toba (Samosir). Percabangan-percabangan marga
ini berkembang juga sampai ke tanah Karo.
Dari keturunan Munthe Tua
yang sudah menjadi marga (Munthe) lahir pula marga-marga baru yaitu :
Sitanggang, Sigalingging, Manihuruk. Tetapi ada pula dari keturunan
Munthe Tua yang lain melahirkan marga-marga baru yang ada di Simalungun,
Karo, Dairi/Phakphak, seperti Saragih garingging, Ginting Munthe,
Dalimunthe, Tendang, Banuarea, Beringin, Gajah, Manik Kecupak, Berampu,
Boang Manalu, Bancin dan Berasa.
Sampai saat
ini, apabila orang berkenalan dan sama-sama merupakan keturunan dari Nai
Ambaton (Parna), mereka akan merasa seperti saudara sendiri, dan tetap
menganut paham Batak “ Sisada lulu anak sisada lulu boru”.
Dari sekian
banyak jumlah marga Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing,
Dairi/Phakphak), boleh dikatakan 20% masuk dalam klan NaiAmbaton
(Parna). Pernah dulu ada anekdot kalau ada laki-laki dan perempuan yang
sudah tua dan belum kawin disebut….. “sai songon Nai Ambaton “, artinya
saking banyaknya marga-marga yang tidak boleh saling kawin yang masuk
dalam kelompok Nai Ambaton, para anak – borunya sulit mendapat jodoh,
sampai tua belum kawin sehingga yang lambat kawin diibaratkan dengan Nai
Ambaton.
Kalau kita
amati dalam tarombo-tarombo Batak, maka permulaan marga yang tergabung
dalam kelompok Nai Ambaton (Parna) dimulai pada generasi ke V hingga
generasi ke XII dari si Raja Batak. Jadi masih ada yang termasuk
marga-marga muda.
Banyak legenda dan cerita yang terjadi pada sejarah Parna sampai sekarang, antara lain Legenda Tabu-tabu
Gumbang, siboru Sileang Nagarusta, Datu Parngongo, Marhati Ulubalang
(anak siampudan Datu Parngongo), Makam Op. Soributtu Sidabutar yang terkenal sampai sekarang di Tomok, maupun Sibatu Gantung di Sibaganding Parapat.
KELOMPOK MARGA KETURUNAN NAI SUANON.
Nai Suanon semasa gadisnya bernama Siboru Sanggul Haomasan, adalah istri ketiga Tuan Sorimangaraja yang melahirkan si Suanon. Setelah dewasa, si Suanon digelari Tuan Sorbadibanua.
Sama halnya
dengan Siboru Anting Haomasan istri kedua Tuan Sorimangaraja, Siboru
Sanggul Haomasan juga sulit mendapat keturunan. Disuatu waktu, Siboru
Sanggul Haomasan berjalan-jalan ditepi hutan, bertemu dengan seorang
wanita tua yang tidak tau darimana datangnya. Ketika si wanita tua
bertanya kepada Siboru Sanggul Haomasan, dia tidak bisa menjawab dengan
tepat pertanyaan itu, lalu kata si wanita tua : “ Tardok do ho
boru ni raja namalo jala na bisuk, alai tung sungkun-sungkun hi dang
taralusi ho onpe ingkon bernitdo parniahapanmu paima-ima tunas ni
siubeonmu”. ( Kau termasuk putri raja yang pintar dan
bijaksana, tetapi pertanyaanku tak dapat kau jawab, jadi ingatlah akan
susah engkau mendapatkan keturunan.)
Setelah
berbagai usaha, martonggo (berdoa) kepada Mulajadi Nabolon, akhirnya
datanglah pesan kepada Tuan Sorimangaraja bahwa dia akan memperoleh
keturunan dari Siboru Sanggul Haomasan apabila dapat menemukan semua
persyaratan yang disampaikan Mulajadi Nabolon melalui Borusibasopaet,
adapaun syarat yang harus ditemukan Tuan Sorimangaraja adalah :
1. Sebatang kayu besar yang dapat mendirikan sebuah rumah, kayu itu ditemukan di Daerah Angkola (Tapanuli Selatan sekarang ).
2. Hati besi untuk ditempa jadi pisau sakti, dapat ditemukan di sungai Buarbuar dekat Barus ( Tapanuli Tengah sekarang).
3. Kerbau sitikko (melingkar) tanduk, si opat pusoran, sijambe ihur sebagai persembahan kepada Mulajadi Nabolon.
Setelah
terpenuhi, diadakanlah upacara martonggo, diiringi bunyi Gondang
Sabangunan. Tuan Sorimangaraja dan istrinya Siboru Sanggul Haomasan
didaulat untuk menari. Persembahan dan doa Tuan Sorimangaraja diterima
Mulajadi Nabolon. Tiba waktunya, istrinya Siboru Sanggul Haomasan
melahirkan seorang anak yang dinamai si Suanon ( Tuan Sorbadibanua).
Tuan Sorbadibanua setelah kawin mendiami (tinggal ) di Lumban Gorat (dekat daerah Balige sekarang ), sedangkan saudaranya yang lain yaitu Tuan Sorbadijulu tinggal di Pangururan (Samosir) dan Tuan Sorbadijae tinggal di Sibisa (Uluan).
Si Suanon atau Tuan Sorbadibanua kawin dengan Nai Anting Malela tetapi lama tidak punya anak. Menurut “datu” dia akan beroleh anak apabila, Nai Anting Malela akan memperoleh keturunan apabila “marimbang matua” ( bermadu ).
Mendengar itu, suka tidak suka Nai Anting Malela mengijinkan Tuan
Sorbadibanua untuk kawin lagi. Masalahnya, perempuan yang akan dinikahi
yang sulit di dapat. Saking gusarnya, Tuan Sorbadibanua meminta ijin
untuk berburu di hutan untuk melupakan segala “parsorion”
yang dialaminya. Dalam perburuannya, tak satupun binatang buruan yang
didapat, akhirnya dia tertidur di bawah sebatang pohon besar. Dalam
tidurnya, diantara sadar dan mimpi dia didatangi sesosok wanita cantik
namun ketika tersadar, tak ada bekasnya, bayangannyapun tidak, namun
lapat-lapat terdengar olenya suara yang berkata : Percikkanlah
ramuan obat yang kamu bawa ke kiri dan ke kanan masing-masing sebanyak 7
kali lalu melangkahlah engkau kea rah kanan. Tuan Sorbadibanua
menuruti perintah suara tersebut, entah darimana datangnya tiba-tiba
terlihat olehnya seorang wanita berparas ayu, merekapun bertegur sapa
dan berkenalan, perempuan itu bernama BORU SIBASOPAET. Tuan Sorbadibanua pun membawa perempuan itu ke kampungnya untuk dijadikan madu Nai Anting Malela.
Mengenai istri kedua Tuan Sorbadibanua ini menurut legenda adalah manusia hutan yang tidak punya saudara (mapultak sian batu madabu sian langit
). Dia menerima pinangan Tuan Sorbadibanua dengan syarat jagan
sekali-kali menyebut dia putri dari hutan belantara yang tidak punya
“hula-hula” yang tidak punya saudara. Syarat tersebut disetujui Tuan
Sorbadibanua.
Legenda lain
mengatakan, Boru Basopaet adalah manusia biasa yang tersesat di hutan
ketika terpisah dari rombongannya. Mereka berasal dari tanah Jau ( Jawa ) bersama rombongan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya datang ke pinggiran danau Toba di dekat Balige sekarang, Boru Basopaet sendiri adalah adik perempuan Raden Wijaya.
Kedatangan
pasukan Majapahit ke Pulau Morsa ( Andalas/Sumatera ) adalah dalam
rangka memperluas wilayah kerajaan. Mereka sampai di tepian danau Toba
setelah menaklukkan kerajaan Sriwijaya di Palembang, kerajaan Batanghari
di Jambi sekarang, Kerajaan Portibi dan Muara Takus di perbatasan
Tapanuli Selatan, Jambi dan Sumatera Barat sekarang.
Di daerah
yang ditaklukkan tersebut, pasukan Majapahit mendirikan candi sebagai
pertanda mereka pernah menguasai wilayah itu, antara lain Candi Portibi
dan Candi Muara Takus. Sampai sekarang kedua candi tersebut masih ada
walau kurang terawat.
Setelah
perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Boru Basopaet, mereka mencari-cari
rombongan dari Kerajaan Mojopahit, merekapun bertemu. Mengetahui adeknya
telah kawin dengan Tuan Sorbadibanua, Raden Wijayapun menjalin hubungan
persaudaraan dengan Tuan Sorbadibanua. Mereka menjadi teman akrab.
Pada setiap
wilayah yang ditaklukkan oleh pasukan Mojopahit, mereka membawa para
pemuda yang ada, dipilih yang gagah berani dan dijadikan pasukan
kerajaan.
Pada suatu
kesempatan, Raden Wijaya berbincang-bincang dengan “laenya” Tuan
Sorbadibanua, dia berkeinginan mencari pemuda gagah berani untuk
dijadikan prajurit perwira. Tuan Sorbadibanua mengajukan salah seorang ponakannya ( berenya) yang bernama si GAJA
untuk dilatih menjadi prajurit. Dia seorang yang tampan gagah, tubuhnya
besar tapi sangat nakal, ada-ada saja ulahnya yang membuat orang lain
selalu menghindar kalau bertemu dengannya, tak ada yang berani melawan
karena disamping tubuhnya yang besar dia juga memiliki kesaktian. Ketika
ditawarkan kepadanya, dengan sangat sukacita dia menerima, maka
berangkatlah dia bersama pasukan Majapahit yang pulang ke Jayadwipa.
Di kerajaan
Majapahit, si Gaja dapat menempatkan diri, dia berlatih dengan tekut dan
bersemangat. Karena dasarnya dia sudah memiliki kesaktian, maka
“Diklat” prajurit yang diikutinya berjalan lancer, malah
dikesempatan-kesempatan tertentu dialah yang menjadi pelatih para
prajurit yang lain.
Si Gaja
menjadi prajurit yang disegani ditengah-tengah pasukan kerajaan. Bersama
si Gaja banyak juga pemuda-pemuda gagah dari Pulau Morsa (Sumatera)
yang dibawa Raden Wijaya untuk dijadikan prajurit kerajaan, karena sudah
kenal sejak semula dengan si Gaja, mereka sering latihan bersama,
berperang bersama.
Sudah
disebutkan di atas, si Gaja ini orang yang suka usil dan nakal, kendati
sudah berada di kerajaan Majapahit keusilan dia tidak berkurang, malah
dengan tambahan ilmu yang didapatnya bertambah juga
kenakalan-kenakalannya, namun sering juga dia lebih duluan bertanya
kepada teman-temannya yang berasal dari Sumatra apa yang akan mereka
lakukan. Teman-temannya berkata : GAJAIMADA ISI.
Artinya: perbuatlah sesukamu disitu. Orang-orang atau prajurit yang
berasal dari wilayah lain yang mendengar pembicaraan mereka berpikir
bahwa sebutan itu ditujukan sebagai panggilan kepada si Gaja yang mereka
kenal gagah berani sehingga berkesimpulan bahwa nama prajurit perwira
ini adalah : GAJAMADA.
Sejak itu Gajamada itu menjadi panggilan resminya.
Ada juga
cerita lain yang menyebutkan bahwa si Gaja kawin dengan gadis dari Pulau
Dewata ketika pasukan Majapahit menaklukkan salah satu kerajaan di
pulau itu. Perempuan itu bernama si MADE, dan dari perkawinan mereka memperoleh anak yang biberi nama GAJAMADE,
yaitu perpaduan antara nama si Gaja dan si Made karena mereka berasal
dari pulau yang berbeda, dan lama kelamaan GAJAMADE berubah panggilan
menjadi GAJAMADA.
Manapun yang
benar dari legenda tersebut tetapi tetap mengaikan bahwa Gajamada masih
mempunyai darah Batak. (Kata Legenda dan cerita).
Anting Malela
akhirnya hidup bermadu dengan Boru Sibasopaet, hanya dengan demikian
impian hatinya memperoleh keturunan dapat tercapai sebagimana petunjuk
Mulajadi Nabolon.
Dari perkawinan Tuan Sorbadibanua dengan Anting Malela lahir 5 orang anak mereka yaitu :
1. Sibagot Nipohan,
2. Sipaettua,
3. Silahisabungan,
4. Siraja Oloan,
5. Siraja Hutalima.
Perkawinan
Tuan Sorbadibanua dengan Boru Sibasopaet juga melahirkan anak, tetapi
lahirnya anak tersebut ditandai dengan hal-hal yang tidak logika.
Pertama
keluar dari rahim Boru Sibasopaet segumpal daging, tidak ada bentuk, si
Boru Basopaet sangat sedih dan menangis karena yang dilahirkan bukan
bentuk manusia, disamping itu akan timbul perasaan malu apabila orang
lain mengetahuinya. Untuk menutupi kejadian tersebut dia menyembunyikan
gumpalan daging tadi di tumpukan sekam padi (sobuon).
Demikianlah, si Boru Sibasopaet berlaku biasa sekan tidak terjadi
apa-apa, tetapi hatinya luluh lantak bila teringat kejadian yang
menimpanya. Dalam kesedihannya dia selalu mengasingkan diri di tepi
hutan dan menangis disana. Suatu ketika, terdengar olehnya suara
disela-sela suara suitan burung elang yang terbang melayang-layang di
atas kampong mereka. Dengan kesaktiannya, hanya si Boru Sibasopaet yang
dapat mengerti suara tersebut. Suara tersebut berkata bahwa pada
waktunya gumpalan daging yang dia sembunyikan akan pecah, dari dalamnya
akan keluar bayi mungil dan agar dinamai sesuai dengan tempat dia
disembunyikan..
Benarlah kata
suara tersebut, gumpalan daging itupun pecah dan dari dalamnya
keluarlah seorang bayi mungil berparas tampan, tangisannya membahana
memenuhi rumah mereka. Sesuai pesan yang didengar dan disampaikan
kepadanya, si Boru Sibasopaet memberi nama kepada orok tersebut seperti
nama tempat di disembunyikan yaitu : SOBU, karena dia disembunyikan di tumpukan SOBUON.
Kelahiran
kedua juga demikian, hanya berupa gumpalan daging yang tidak berbentuk.
Si Boru Sibasopaet menyembunyikan gumpalan daging itu diantara tumpukan
kayu bakar ( soban, sumban ). Setelah gumpalan daging tadi pecah keluar pula bayi mungil yang kemudian diberi nama sesuai tempatnya disembunyikan : SUMBA, karena disembunyikan di tumpukan sumban.
Anak ketiga juga demikian halnya, lahir hanya berbentuk gumpalan daging, si Boru Sibasopaet menyembunyilan di salean yang sudah hitam pekat (naipos-iposon), setelah pecah dan keluar bayi mungil kepadanya diberikan nama sesuai tempat dia disembunyikan : NAIPOSPOS.
Dengan
demikian maka anak Tuan Sorbadibanua ada 8 orang, lima orang dari isteri
pertama Nai Anting Malela dan 3 orang dari Boru Sibasopaet. Anak Tuan
Sorbadibanua ini termasuk pada generasi ke V dari si Raja Batak. Pada
generasi ini nama anak Tuan Sorbadibanua yang menjadi marga sampai
sekarang adalah POHAN dan NAIPOSPOS.
Dari anak-anak Tuan Sorbadibanua terlahir marga-marga yang sangat banyak dan terkenal sampai sekarang, masing-masing dari :.
SIBAGOT NIPOHAN : disamping marga POHAN, keturunannya melahirkan marga-marga baru, anak pertama Tuan Sihubil melahirkan marga: TAMPUBOLON. Anak kedua Tuan Somanimbil melahirkan marga : SIAHAAN, SIMANJUNTAK, HUTAGAOL. Anak ketiga Tuan Dibangarna melahirkan marga : PANJAITAN, SILITONGA, SIAGIAN, SIANIPAR. Dan anak keempat Sonak Malela melahirkan marga : SIMAGUNSONG, MARPAUNG, NAPITUPULU dan PARDEDE.
Terima Kasih jg kpd http://pomparanrajanaiambaton.blogspot.com sebagai sumber saya dalam menulis artike ini :D
maaf jika kurang benar , karena saya juga Manusia Biasa , yang tdk pernah luput dari KeSALAHAN :D
KEPADA Bapak/Ibu/ Saudara/i jika marga dan silsilah anda yang saya tulis lain dari kenyataannya anda bisa mencantumkan komentar di kolom komentar ataupun mengirimi email kepada saya : ralonpahalatamba@gmail.com
, agar saya memperbaikinya :D
di akhir kata saya ucapkan TERIMAKASIH :D
MAULIATE , HORAS HORAS :D
penulis : RALON PAHALA TAMBA :)
alamat email : ralonpahalatamba@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar